Beranda | Artikel
Tafsir Surat An-nas ayat 1
Senin, 10 Oktober 2022

Kandungan global surat an-Nas

Suratini mengandung permohonan perlindungan kepada Rabb para manusia, Penguasa dan Sesembahan mereka, dari kejahatan setan yang merupakan sumber segala kejahatan. Di antara bentuk kejahatannya: ia mengganggu hati manusia, keburukan ia hiasi sehingga menjadi nampak indah, sehingga manusia bersemangat untuk melakukannya. Sebaliknya ia menjadikan manusia malas untuk melakukan kebaikan dan menggambarkannya tidak sesuai dengan bentuk aslinya.

Dalam melakukan misinya tersebut setan terkadang maju dan mundur, manakala hamba lupa akan Rabbnya maka setan akan maju, namun tatkala insan memohon perlindungan pada-Nya maka setan akan mundur.

Gangguan sebagaimana muncul dari setan dari kalangan jin, juga muncul dari setan dari kalangan manusia.[1]

Tafsir rinci surat an-Nas

“قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ”

Artinya: “Katakanlah, aku berlindung kepada Rabb para manusia”

Ayat Pertama:

” قُلْ أَعُوْذُ”

“Katakanlah aku berlindung”.

Makna “Permohonan perlindungan” sudah dijelaskan saat kita menafsirkan kalimat isti’adzah. Silahkan dirujuk di Silsilah Materi Kajian Tafsir – No: 4. Di mana hakikat maknanya adalah: “Melarikan diri dari sesuatu yang kau takuti menuju sesuatu yang melindungimu darinya”.

“Katakanlah!”, secara asal perintah ini ditujukan kepada Nabi shallallahu ’alaihi wasallam, namun demikian perintah tersebut juga tertuju kepada para umatnya. Sebab tidak dalil yang menunjukkan bahwa hal itu khusus untuk Nabi shallallahu’alaihiwasallam. Karena itulah dalam banyak hadits, beliau memerintahkan para sahabatnya untuk memohon perlindungan pada Allah dengan surat ini.[2]

“بِرَبِّ النَّاسِ”

“Kepada Rabb manusia”.

Kata “Rabb” sudah ditafsirkan saat kita membahas ayat kedua dari surat al-Fatihah. Silahkan dirujuk di Silsilah Materi Kajian Tafsir – No: 6. Di mana inti makna “Rabb” adalah: dzat yang terkumpul pada dirinya tiga sifat sekaligus; pencipta (al-khâliq), pemilik/penguasa (al-mâlik) dan pengatur (al-mudabbir).

Jadi, kita diperintahkan untuk memohon perlindungan kepada pencipta, pemilik dan pengatur manusia. Dialah Allah ‘azza wa jalla.

1. Dialah Allah yang menciptakan manusia, dari tidak ada menjadi ada.

Dia pula yang menciptakan manusia dengan bentuk yang amat baik.

“لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فيِ أَحْسَنِ تَقْوِيْمٍ”.

Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”. QS. At-Tin: 4.

Sekedar contoh, bagaimana Allah menciptakan hidung yang lubangnya menghadap ke bawah, dan telinga yang terisi tulang namun lunak.

Dia pula yang menciptakan manusia dengan siklusnya.

“اللهُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِنْ ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفاً وَشَيْبَةً”.

Artinya: “Allah, Dialah yang menciptakan kalian dari keadaan lemah, lalu Dia menjadikan (kalian) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kalian) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban”. QS. Ar-Rum: 54.

Dengan memahami sunnatullah ini, seorang yang lanjut usia akan lebih menyadari kondisinya. Terutama manakala segala sesuatunya telah berkurang. Kekuatannya, kesehatannya, ketampanan dan kecantikannya. Sehingga ia tidak perlu repot-repot untuk operasi plastik, atau bertopeng dengan make up tebal guna menutupi guratan-guratan ketuaannya.

Allah pula yang menciptakan seluruh manusia dari sejak zaman nabi Adam ‘alaihissalam hingga manusia terakhir sebelum hari kiamat, yang jumlahnya tak terhitung. Dengan berbagai macam warna, postur, sifat, takdir, bahasa dan negara yang berbeda-beda.

Allah ta’ala berfirman,

“يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوْباً وَقَبَائِلَ”.

Artinya: “Wahai para manusia, sungguh Kami telah menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku”. QS. Al-Hujurat: 13.

Bahkan konon, tidak ada satupun sidik jari antar manusia yang sama!

2. Dialah Allah yang memiliki manusia. Dia memberi dan mengambil sekehendak-Nya sesuai dengan hikmah-Nya.

Dia memberi sekehendak-Nya.

“يَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ إِنَاثاً وَيَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ الذُّكُوْرَ . أَوْ يُزَوِّجُهُمْ ذُكْرَاناً وَإِناَثاً وَيَجْعَلُ مَنْ يَشَاءُ عَقِيْماً إِنَّهُ عَلِيْمٌ قَدِيْرٌ”.

Artinya: “Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki, dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa yang dikehendaki-Nya), dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa”. QS. Asy-Syura: 49-50.

Dia pula yang mengambil sekehendak-Nya. Maka di antara ucapan yang dituntunkan Islam untuk dilantunkan seorang hamba tatkala ia ditimpa musibah:

“إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ “.

“Innâ lillâhi wa innâ ilaihi rôji’ûn “.

Artinya: “Sesungguhnya kita adalah milik Allah dan kepada-Nyalah kita dikembalikan “.

Landasan dzikir di atas antara lain firman Allah ta’ala,

“وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوفْ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الأَمَوَالِ وَالأنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ. الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُواْ إِنَّا لِلّهِ وَإِنَّـا إِلَيْهِ رَاجِعونَ. أُولَـئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِّن رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَـئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ”.

Artinya: “Kami pasti akan menguji kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. (Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata, “Innâ lillâhi wa innâ ilaihi rôji’ûn” (Sesungguhnya kita adalah milik Allah dan kepada-Nyalah kita dikembalikan). Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Rabbnya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk”. QS. Al-Baqarah: 155-157.

Dzikir di atas tatkala dibaca hendaklah sambil diresapi maknanya; bahwa kita semua adalah milik Allah, kapanpun Dia berkehendak untuk mengambilnya, kita harus siap untuk menerima suratan takdir tersebut.

Dikisahkan dalam Shahih Bukhari (hal. 1182 no. 5470) dan Muslim (XIV/349 no. 5578) bahwa Abu Thalhah; salah satu sahabat Nabi shallallahu’alaihiwasallam, suatu hari putranya sakit keras. Karena suatu kepentingan dia harus keluar rumah. Di saat ia bepergian, anaknya meninggal dunia. Sang istri; Ummu Sulaim mewanti-wanti kepada para saudaranya agar tidak ada satupun yang mengabari suaminya. Tatkala Abu Thalhah tiba di rumah dia segera bertanya, “Bagaimana perkembangan kondisi anakku?”. “Sekarang ia lebih tenang dari sebelumnya” jawab Ummu Sulaim. Kemudian ia menghidangkan makan malam untuk sang suami dan menarik perhatiannya -dengan dandanan yang menarik- untuk melakukan hubungan suami istri.

Setelah semuanya selesai, Ummu Sulaim berkata, “Wahai Abu Thalhah, andaikan ada seseorang yang menitipkan suatu barang kepada orang lain, tatkala telah datang masanya untuk mengambil titipan tersebut, bolehkan orang yang dititipi menghalanginya?”.

“Tentu tidak!” jawab Abu Thalhah.

“Ridhalah atas apa yang Allah takdirkan atas anakmu…” tutup Ummu Sulaim dengan bijak.

3. Dialah Allah yang mengatur manusia. Bagaimana seharusnya mereka hidup di muka bumi. Maka jikalau ada orang yang tidak mau mengikuti aturan Allah, seharusnya ia mencari tempat tinggal lain selain bumi dan selain tempat yang Allah ciptakan!

Kesadaran akan kenyataan ini memotivasi kita untuk tunduk dan patuh dengan aturan yang Allah ta’ala gariskan.

Adasebagian orang yang tatkala dihadapkan dengan aturan syariat tentang hukum halal dan haram, dia menggerutu, “Apa-apa haram! Apa-apa haram!”. Padahal jika ia mau jujur, manakah yang lebih banyak, makanan dan minuman yang Allah halalkan atau yang diharamkan-Nya? Allah ta’ala mengingatkan,

“هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأرْضِ جَمِيْعاً”.

Artinya: “Dialah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kalian”. QS. Al-Baqarah: 29.

Namun begitulah setan, menggoda manusia untuk mencoba-coba yang Allah haramkan dan tidak merasa puas dengan yang dihalalkan-Nya. Ada yang mencari-cari sate ‘jamu’ (baca: anjing), dan meninggalkan seabreg jenis sate lainnya, seperti sate kambing, ayam, kuda, kelinci, bebek dll. Ada pula orang yang lebih suka ‘jajan’ di luar dan enggan menikmati istri sendiri yang jelas-jelas halal dan berpahala. Katanya: rumput tetangga lebih hijau dari rumput sendiri. Padahal Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam telah bersabda,

“وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ. قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَيَأْتِيْ أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُوْنُ لَهُ فِيْهَا أَجْرٌ؟ قَالَ: أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيْهَا وِزْرٌ؟ فَكَذَلِك إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ”.

“Di kemaluan kalian terdapat sedekah”.

Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah salah seorang dari kami memuaskan syahwatnya dan ia mendapatkan pahala?”.

Beliau menjawab, “Menurut kalian, jika ia meletakkan (mani)nya di tempat yang haram apakah ia berdosa? Begitu pula (sebaliknya) jika ia letakkan di tempat yang halal maka ia akan mendapatkan pahala”. HR. Muslim (VII/92 no. 2326) dari Abu Dzar.

Bahkan Allah pun memperhatikan kebutuhan antara lain mereka yang memiliki tabiat bersyahwat kuat dan memberikan solusi untuk menikah lebih dari satu, alias berpoligami. Allah berfirman,

“فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُواْ فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُواْ”.

Artinya: “Nikahilah perempuan yang kalian senangi, dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih menghindarkanmu dari perbuatan zalim”. QS. An-Nisa: 3.

Begitulah Allah mengatur manusia dengan aturan yang begitu rapi, indah, serasi, tidak saling kontradiksi dan tidak perlu untuk direvisi sepanjang masa sampai kapanpun juga.

Pendek kata, dengan merenungi makna ayat pertama dari surat an-Nas ini kita akan memiliki banyak bekal untuk mengarungi kehidupan dunia yang warnanya begitu beragam.


[1] Lihat: Tafsîr as-Sa’dy (hal. 867).

[2] At-Tahrîr wa at-Tanwîr karya Ibn ‘Asyur (XXX/625-626, 632).

Download Audio Kajian Tafsir Surat An-nas


Artikel asli: https://tunasilmu.com/tafsir-surat-an-nas-ayat-1/